Minggu, 25 September 2016

25.9.16
Suarapatinews. Pati - Napak tilas nguri uri kebudayaan aset lokal, sebuah legenda yang menjadi cerita rakyat di desa Mojolawaran Kabupaten Pati ini begitu merasuk dan mendarah daging dilingkungan desa sekitarnya alkisah diceritakan hiduplah suami istri yang hidup sederhana dan mengelola sebuah pondok atau padepokan yang mana perguruan tersebut membimbing para murid murid santri maupun santriwati untuk belajar mengaji, beladiri pencaksilat maupun seni tari dan sebagainya, keluarga tersebut mempunyai putra dan putri yang sulung bernama Raden Alim yang nomor dua Kyai Gusti, Kyai Plumbungan, Kyai Plosomalang dan yang bungsu bernama Dewi Lanjar Sari atau yang lebih dikenal Siti Rohmah. 


Raden Alim sendiri bertugas mengajar dan memperdalam agama, kesenian dan beladiri pencaksilat yang mana Kyai Gusti, Kyai Plumbungan dan Kyai Plosomalang sering membantunya. Sedangkan Dewi Lanjar Sari membimbing para santriwati untuk belajar mengaji, menari maupun ketrampilan wanita lainnya. Pada suatu hari Dewi Lanjar Sari memasak entah kurang apa sang ibunda marah besar hingga dipukul kepalanya pakai entong', sehingga sang putri ngambek dan langsung meninggalkan rumah tanpa tujuan berhari hari bahkan seminggu, sebulan terus berjalan kaki kearah barat daya sang putri 


hanya makan seadanya dengan sekedarmembantu orang orang yang dijumpainya dengan upah makan dan minum. Dari orang ke orang lain terus melanjutkan perjalanannya hingga sang putri kelelahan dan ketiduran dibawah pohon, konon ada seorang Raja Mataram sedang jalan jalan di daerah kekuasaannya dengan diiringi pejabat kerajaan serta para prajurit ada rasa terkejut sang Prabu melihat seberkas sinar yang datang dari jauh, dan sang patih disuruh menyelidiki sinar apa tersebut. Beberapa saat kemudian setelah sang patih menemukan apa yang menjadi sumber sinar tersebut berasal dari putri cantik yang bernama Dewi Lanjar Sari yang tidak mempunyai tempat tinggal berkelana tidak punya arah dan tujuan, akhirnya sang Prabu berpendapat bahwa wanita cantik itu orang sakti dan berketurunan orang yang berilmu tinggi dan sang putri akhirnya diambil garwo selir oleh sang Prabu dan lebih dikenal dengan nama Nyai Ratu. Di kerajaan sang putri memberi pelajaran menari maupun seni ketrampilan wanita juga mengaji, para istri raja dan keluarga kerajaan sangat sayang kepadanya. 


Lain cerita ibundanya sangat sedih karena ditinggal oleh anaknya yang sangat dicintai dan disayanginya bertahun tahun tidak ada kabar berita entah masih hidup atau sudah mati, semua anaknya dipanggil dan dikumpulkan untuk menghadap sang ibu yang sedang susah dan bersedih hati. Setelah berkumpul semua anaknya ditugasi untuk mencari sang adik dengan pesan jangan pulang jika belum bertemu dengan sang adik, karena Dewi Lanjar Sari memiliki kesenangan yaitu hiburan yang kesenian topeng lengger'. Kesenian topeng lengger yaitu suatu kesenian dengan alat musik sederhana memakai rebana, kendang dan jidur, jadi satu rombongan berjumlah lima orang semuanya laki-laki, yaitu dengan tugas dua orang menabuh gendang satu orang kendang satu orang menabuh jidur dan seorang lagi menari memakai topeng sambil bersyair yang bernafaskan agama dan budi pekerti serta cerita nabi maupun riwayat hidup keluarganya. Raden Alim kebagian tugas sebagai penari topeng dan menyanyikan syair-syair dan yang lain mengiringinya, ramai sekali penduduk Mataram menontonnya hingga akhirnya kesenian topeng lengger sampai ketelinga sang putri dan Nyai Ratu mohon kepada sang Prabu untuk mendatangkan kesenian tersebut dikerajaan. Dengan rasa senang Raden Alim beserta rombongan datang ke kerajaan untuk memainkan keseniannya, alhasil Raden Alim terperanjat melihat adiknya berjajar bersama sama dengan rombongan sang Raja, dengan membawakan syair yang bernafaskan islami maupun menceritakan tentang kisah pribadi keluarganya bersama saudara saudaranya sampai perginya sang adik Dewi Lanjar Sari setelah kena marah ibunya hingga pergi dari rumah. Para hadirin terpesona mendengarkan cerita tersebut bahkan Nyai Ratu menjerit dan menangis sejadi jadinya, setelah ditanya sang Prabu sang putri mengatakan bahwa itu adalah kisahnya sendiri pada akhirnya dia mengetahui bahwa yang menari adalah kakak kandungnya. Setelah bercakap cakap untuk mengobati rasa rindunya Raden Alim memohon kepada sang Prabu, adiknya untuk dibawa pulang sebentar kira kira satu atau dua bulan, sang raja mengabulkan dan mengijinkan tapi hanya sebentar satu atau dua bulan saja, akhirnya Raden Alim beserta rombongan pulang ke kadipaten Pati tepatnya dipadepokan Mojolawaran sesampainya dirumah sang ibunda telah meninggal begitu sedihnya sang putri melihat kenyataan ini hingga akhirnya Nyai Ratu tiba-tiba sakit dan akhirnya meninggal, seluruh keluarga dan murid murid sangat berduka karena hal tersebut. 


Sang Prabu sangat kecewa karena berbulan bulan Nyai Ratu belum dikembalikan hingga mengirimkan utusan dan prajurit untuk menjemput Nyai Ratu, sampai didesa utusan tersebut diberitahu bahwa sang putri sudah meninggal namun para prajurit dan utusan malah marah hingga membuat keributan dan memukuli Raden Alim dan keluarga maupun murid murid hingga terjadi perang tanding yang hebat kekuatan daya gempur prajurit Mataram yang terlatih tidak bisa dielakan. Dengan kesaktiannya Raden Alim mengakat batu besar tempat alas untuk berwundlu diperintahkan batu tersebut untuk menyerang dan mengejar para prajurit Mataram hingga kocar kacir dan mati semua terkena maupun tergilas oleh batu bobot tersebut yang telah dimantrai oleh Raden Alim. Maka sampai sekarang watu bobot tersebut ditempatkan disamping makam Nyai Ratu dan Raden Alim lebih dikenal dengan tuan sokolangu' karena beliau selalu membawa tongkat yang terbuat dari kayu sokolangu, disebut Mojolawaran karena benteng padepokan terbuat kayu mojo. Setiap bulan muharam atau suro'nan diperingati sebagai khaul adat istiadat desa Mojolawaran sampai sekarang : 1. Kalau didesa Mojolawaran ada perawan tua asal mau pergi merantau pasti akan menemukan jodohnya. 2. Kalau sedekah bumi tidak mau dirayakan dengan pertunjukan ketoprak maupun wayang cukup dengan tahlilan maupun membaca sejarah Nabi Muhammad SAW atau berjanjean dan sholawatan malam harinya dengan musik rebana atau pengajian, konon pernah di adakan wayang kulit dalangnya meninggal mendadak disambar petir. Demikian kisah legenda cerita turun temurun dari kakek buyut yang masih menjadi sesepuh desa seperti mbah abu, mbah seno, mbah mentrik, mbah ngasngari dan mbah mumbari Walluhu A'alam bisowab" (ROY)

0 komentar:

Posting Komentar